Benih padi varitas unggul dalam negeri kita tidak kalah dengan benih impor. Demi memenuhi ketahanan pangan nasional, teknologi nuklir juga berperan menghasilkan benih padi andal.
Jangan selalu takut dengan radiasi nuklir. Bisa jadi beras yang kita makan sehari-hari merupakan hasil proses radiasi nuklir. Salah satunya adalah yang berasal dari benih Mira 1, hasil kembangan teranyar Badan Teknologi Atom Nasional (Batan).
“Mira kepanjangan dari Mutasi dan Radiasi, jenis benih padi unggul kami pada tahun 2005 lalu. Sampai sekarang jenis ini sudah menghasilkan panen di lahan seluas 440.000 hektare,” ungkap Suharyono, Kepala Bidang Pertanian Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi Batan kepada SH di Jakarta, Selasa (30/1).
Kelebihan Mira 1 dibanding dengan padi konvensional adalah batangnya lebih kokoh sehingga tidak mudah rontok ketika terkena angin kuat. Padi temuan Prof Dr Mugiono ini tahan terhadap hama wereng cokelat biotipe 1 dan 2, tahan terhadap penyakit bakteri hawar daun strain III.
Mira 1 hanya satu di antara 15 benih padi unggul produksi Batan. Lainnya seperti Atomita 1,2,3,4, Meraoke, Woyla, Kahayan, Winongo, Diah Suci, Yuwono, Mayang, Situgintung, Muria, Tengger, Meratus, Rajabasa dan Camar juga dihasilkan dari proses radiasi nuklir.
Suharyono menjelaskan teknik nuklir yang digunakan dalam pemuliaan padi adalah radiasi, di mana tanaman varietas nasional disilangkan dengan tanaman yang memberi aspek bagus.
Radiasi mampu menembus biji tanaman sampai ke lapisan kromosom. Struktur dan jumlah pasangan kromosom pada biji tanaman dapat dipengaruhi dengan sinar rasiasi ini.
Perubahan struktur akibat rasiasi dapat berakibat pada perubahan sifat tanaman dan keturunannya. Fenomena ini digunakan untuk memperbaiki sifat tanaman untuk memperoleh biji tanaman dengan keunggulan tertentu, misalnya tahan hama, tahan kering dan cepat panen.
“Kami radiasi dengan dosis tertentu. Padi yang diradiasi bersifat aman sepenuhnya, tidak ada unsur radioaktif. Setelah itu masuk ke tahap seleksi yang lanjut ke tahap galur mutan dan galur harapan. Dari situ melalui uji daya hasil pendahuluan,” jelas Suharyono.
Langkah selanjutnya adalah uji multilokasi yang menurut standar Departemen Pertanian paling sedikit harus dilakukan di 20 lokasi.
Sejak 1982, Studi pemanfaatan teknologi radiasi nuklir terhadap pemuliaan padi sudah dilakukan Batan sejak tahun 1982. Dedy Miharja, Kepala Bidang Promosi Batan mengatakan, “Total benih unggul kembangan Batan sudah tersebar di 923.000 hektare di 23 provinsi se-Indonesia, paling banyak di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Penyebaran benih unggul ini dilakukan melalui program Iptekda di berbagai daerah sejak 1999.”
Batan juga bekerja sama dengan PT Sang Hyang Sri dan Himpunan Keluarga Tani Indonesia (HKTI) untuk mendistribusikan benih tersebut ke masyarakat. Yang menjadi kendala hingga saat ini adalah sulitnya menghadapi masalah musim yang memang tidak dapat dihadapi. Kendala lainnya adalah keterbatasan Batan sebagai Lembaga Penelitian Non departemen (LPND) untuk melakukan komersialisasi sendiri.
Selain sekadar menghasilkan produksi benih unggul, Batan juga mencoba mengolah padi lokal untuk ditingkatkan kemampuan tanamnya. Salah satunya padi Pandanwangi dari Cianjur yang berkat teknik rasiasi mampu ditanam bukan saja di atas ketinggian 700 meter dpl, melainkan di area yang lebih rendah juga.
“Kami berharap agar pemerintah mengikutsertakan benih-benih produksi kami ke dalam program subsidi benih unggul nasional,” demikian Suharyono.
sumber: hkti.org
Jangan selalu takut dengan radiasi nuklir. Bisa jadi beras yang kita makan sehari-hari merupakan hasil proses radiasi nuklir. Salah satunya adalah yang berasal dari benih Mira 1, hasil kembangan teranyar Badan Teknologi Atom Nasional (Batan).
“Mira kepanjangan dari Mutasi dan Radiasi, jenis benih padi unggul kami pada tahun 2005 lalu. Sampai sekarang jenis ini sudah menghasilkan panen di lahan seluas 440.000 hektare,” ungkap Suharyono, Kepala Bidang Pertanian Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi Batan kepada SH di Jakarta, Selasa (30/1).
Kelebihan Mira 1 dibanding dengan padi konvensional adalah batangnya lebih kokoh sehingga tidak mudah rontok ketika terkena angin kuat. Padi temuan Prof Dr Mugiono ini tahan terhadap hama wereng cokelat biotipe 1 dan 2, tahan terhadap penyakit bakteri hawar daun strain III.
Mira 1 hanya satu di antara 15 benih padi unggul produksi Batan. Lainnya seperti Atomita 1,2,3,4, Meraoke, Woyla, Kahayan, Winongo, Diah Suci, Yuwono, Mayang, Situgintung, Muria, Tengger, Meratus, Rajabasa dan Camar juga dihasilkan dari proses radiasi nuklir.
Suharyono menjelaskan teknik nuklir yang digunakan dalam pemuliaan padi adalah radiasi, di mana tanaman varietas nasional disilangkan dengan tanaman yang memberi aspek bagus.
Radiasi mampu menembus biji tanaman sampai ke lapisan kromosom. Struktur dan jumlah pasangan kromosom pada biji tanaman dapat dipengaruhi dengan sinar rasiasi ini.
Perubahan struktur akibat rasiasi dapat berakibat pada perubahan sifat tanaman dan keturunannya. Fenomena ini digunakan untuk memperbaiki sifat tanaman untuk memperoleh biji tanaman dengan keunggulan tertentu, misalnya tahan hama, tahan kering dan cepat panen.
“Kami radiasi dengan dosis tertentu. Padi yang diradiasi bersifat aman sepenuhnya, tidak ada unsur radioaktif. Setelah itu masuk ke tahap seleksi yang lanjut ke tahap galur mutan dan galur harapan. Dari situ melalui uji daya hasil pendahuluan,” jelas Suharyono.
Langkah selanjutnya adalah uji multilokasi yang menurut standar Departemen Pertanian paling sedikit harus dilakukan di 20 lokasi.
Sejak 1982, Studi pemanfaatan teknologi radiasi nuklir terhadap pemuliaan padi sudah dilakukan Batan sejak tahun 1982. Dedy Miharja, Kepala Bidang Promosi Batan mengatakan, “Total benih unggul kembangan Batan sudah tersebar di 923.000 hektare di 23 provinsi se-Indonesia, paling banyak di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Penyebaran benih unggul ini dilakukan melalui program Iptekda di berbagai daerah sejak 1999.”
Batan juga bekerja sama dengan PT Sang Hyang Sri dan Himpunan Keluarga Tani Indonesia (HKTI) untuk mendistribusikan benih tersebut ke masyarakat. Yang menjadi kendala hingga saat ini adalah sulitnya menghadapi masalah musim yang memang tidak dapat dihadapi. Kendala lainnya adalah keterbatasan Batan sebagai Lembaga Penelitian Non departemen (LPND) untuk melakukan komersialisasi sendiri.
Selain sekadar menghasilkan produksi benih unggul, Batan juga mencoba mengolah padi lokal untuk ditingkatkan kemampuan tanamnya. Salah satunya padi Pandanwangi dari Cianjur yang berkat teknik rasiasi mampu ditanam bukan saja di atas ketinggian 700 meter dpl, melainkan di area yang lebih rendah juga.
“Kami berharap agar pemerintah mengikutsertakan benih-benih produksi kami ke dalam program subsidi benih unggul nasional,” demikian Suharyono.
sumber: hkti.org