Sebagian kecil masyarakat, terutama yang menerapkan pola hidup back to nature (kembali ke alam), kini cenderung memilih bahan pangan organik, mulai dari beras organik, sayur organik, buah organik, telur organik dan daging organik.
Sebenarnya pola hidup organik sudah meluas di kalangan penduduk di negara-negara maju. Produk pertanian Indonesia misalnya, sangat sulit menembus Australia, bahkan banyak yang dikembalikan. Alasan utamanya standar kualitas tidak terpenuhi, seperti produk bebas pestisida, atau paling tidak residunya di bawah BBM (batas residu minimal), pengemasan tidak sesuai prosedur atau mengandung patogen. Banyak juga konsumen yang menginginkan bahan pangan yang bebas pupuk kimia.
Keberadaan varietas padi lokal makin terdesak, bahkan banyak yang mengalami kepunahan. Program Bimas dengan varietas unggul tahan werengnya, telah menjadikan petani lupa dengan varietas lokal, karena cenderung “dipaksa” untuk menanam varietas hasil rekayasa genetika yang dikenal memiliki tingkat produksi yang tinggi dan tahan terhadap serangan hama.
Namun ternyata varietas lokal memiliki keunggulan tertentu yang tidak dimiliki varietas hasil rekayasa, misalnya menyangkut rasa dan aroma. Menurut Dr.Ir.Mulyadi Raharja, pengajar senior di Fakultas Pertanian Unpad, beras yang dikonsumsi di lingkungan Istana Presiden di Bogor, sampai beberapa waktu yang lalu, hanya berasal dari varietas lokal yang hanya tumbuh baik di satu kecamatan di Kab. Cianjur, yaitu varietas Baok.
Dalam memproduksi beras organik, pupuk kimia seperti urea, ZA, TSP, SP 36, dan KCI digantikan dengan pupuk organik seperti pupuk kandang, kompos, bokashi, dan sebagainya. Sedang pestisida dengan bahan aktif senyawa kimia tertentu, digantikan dengan pestisida nabati (terbuat dari tumbuhan tertentu) atau musuh alami (dicarikan serangga yang memangsa hama).
Dampak samping penggunaan pupuk kimia dan pestisida memang sangat kompleks, selain berpengaruh terhadap fisiologi tanaman dan hasil panen, juga merusak lingkungan. Pemakaian urea yang terus- menerus misalnya dapat merusak tanah, mulai dari kesamaan yang meningkat sampai ketidakseimbangan mikroorbiologi tanah.
Penggunaan insektisida selain bisa menjadi residu yang terkandung dalam hasil panen, juga mematikan serangga yang bermanfaat untuk penyerbukan (serangga non hama), menyebabkan hama menjadi resisten (tahan), dan yang terpenting menimbulkan keracunan bagi manusia. Sebagai contoh, insektisida yang termasuk golongan DDT, aldrin, dieldrin, endrin dan khlordin, berpengaruh terhadap sistem saraf pusat.
Hasil percobaan dengan menggunakan dosis yang tinggi pada hewan percobaan dapat menyebabkan kerusakan organ hati dan ginjal. Racun yang mengenai manusia akan tersimpan dalam jaringan lemak tidak bersifat aktif, karena itu pengaruhnya tidak tampak dengan cepat. Masuk ke tubuh manusia melalui pernafasan, mulut dan kulit. Gejala keracunan berupa badan gemetar, mual dan diare. Hal itu memperkuat alasan bagi sebagian masyarakat untuk beralih ke pola konsumsi bahan pangan organik.
Sikap pemerintah melalui Departemen Pertanian pun sudah lebih peduli, bahkan sudah dicanangkan Program Menuju Pertanian Organik 2010. Sesuai dengan fungsinya sebagai fasilitator pembangunan, maka langkah-langkah yang dilakukan untuk menuju pertanian organik 2010 adalah, antara lain:
1. Memasyarakatkan pertanian organik kepada konsumen, petani, pelaku pasar, serta masyarakat luas;
2. Memfasilitasi percepatan penguasaan, penerapan, pengembangan, dan penyebarluasan teknologi pertanian organik;
3. Memfasilitasi kerjasama terpadu antar masyarakat agribisnis untuk mengembangkan sentra-sentra pertumbuhan pertanian organik;
4. Memberdayakan potensi dan kekuatan masyarakat untuk mengembangkan infrastruktur pendukung pertanian organik;
5. Merumuskan kebijakan, norma, standar teknis, sistem dan prosedur yang kondusif untuk pengembangan pertanian organik.
Tanggapan masyarakat terhadap pertanian organik terus menguat. Saat ini telah berdiri beberapa lembaga atau perkumpulan yang mengembangkan pertanian organik. Antara lain Masyarakat Pertanian Organik Indonesia (Maporina) yang berpusat di Universitas Brawijaya, Malang; Organik Nature Farming Training Centre (Pusat Pelatihan Pertanian Terpadu dan Akrab Lingkungan – PPPTAL); dan Institut Pengembangan Sumberdaya Alam (IPSA). Beragam hasil kajian dan percobaan pertanian organik telah banyak yang diaplikasikan petani. Misalnya untuk menghasilkan beras organik, petani memilih varietas lokal seperti Sri Kuning, Sri Ayu, Galur, Lestari dan Mentik. (Atep Afia)
Sumber Gambar:
Sumber Gambar:
http://www.naturalkitchenstrategies.com.au/images/Fresh_Basil_from_Glo_Health_Organic_Groceries_Food_Shop.jpg
Sebenarnya pola hidup organik sudah meluas di kalangan penduduk di negara-negara maju. Produk pertanian Indonesia misalnya, sangat sulit menembus Australia, bahkan banyak yang dikembalikan. Alasan utamanya standar kualitas tidak terpenuhi, seperti produk bebas pestisida, atau paling tidak residunya di bawah BBM (batas residu minimal), pengemasan tidak sesuai prosedur atau mengandung patogen. Banyak juga konsumen yang menginginkan bahan pangan yang bebas pupuk kimia.
Keberadaan varietas padi lokal makin terdesak, bahkan banyak yang mengalami kepunahan. Program Bimas dengan varietas unggul tahan werengnya, telah menjadikan petani lupa dengan varietas lokal, karena cenderung “dipaksa” untuk menanam varietas hasil rekayasa genetika yang dikenal memiliki tingkat produksi yang tinggi dan tahan terhadap serangan hama.
Namun ternyata varietas lokal memiliki keunggulan tertentu yang tidak dimiliki varietas hasil rekayasa, misalnya menyangkut rasa dan aroma. Menurut Dr.Ir.Mulyadi Raharja, pengajar senior di Fakultas Pertanian Unpad, beras yang dikonsumsi di lingkungan Istana Presiden di Bogor, sampai beberapa waktu yang lalu, hanya berasal dari varietas lokal yang hanya tumbuh baik di satu kecamatan di Kab. Cianjur, yaitu varietas Baok.
Dalam memproduksi beras organik, pupuk kimia seperti urea, ZA, TSP, SP 36, dan KCI digantikan dengan pupuk organik seperti pupuk kandang, kompos, bokashi, dan sebagainya. Sedang pestisida dengan bahan aktif senyawa kimia tertentu, digantikan dengan pestisida nabati (terbuat dari tumbuhan tertentu) atau musuh alami (dicarikan serangga yang memangsa hama).
Dampak samping penggunaan pupuk kimia dan pestisida memang sangat kompleks, selain berpengaruh terhadap fisiologi tanaman dan hasil panen, juga merusak lingkungan. Pemakaian urea yang terus- menerus misalnya dapat merusak tanah, mulai dari kesamaan yang meningkat sampai ketidakseimbangan mikroorbiologi tanah.
Penggunaan insektisida selain bisa menjadi residu yang terkandung dalam hasil panen, juga mematikan serangga yang bermanfaat untuk penyerbukan (serangga non hama), menyebabkan hama menjadi resisten (tahan), dan yang terpenting menimbulkan keracunan bagi manusia. Sebagai contoh, insektisida yang termasuk golongan DDT, aldrin, dieldrin, endrin dan khlordin, berpengaruh terhadap sistem saraf pusat.
Hasil percobaan dengan menggunakan dosis yang tinggi pada hewan percobaan dapat menyebabkan kerusakan organ hati dan ginjal. Racun yang mengenai manusia akan tersimpan dalam jaringan lemak tidak bersifat aktif, karena itu pengaruhnya tidak tampak dengan cepat. Masuk ke tubuh manusia melalui pernafasan, mulut dan kulit. Gejala keracunan berupa badan gemetar, mual dan diare. Hal itu memperkuat alasan bagi sebagian masyarakat untuk beralih ke pola konsumsi bahan pangan organik.
Sikap pemerintah melalui Departemen Pertanian pun sudah lebih peduli, bahkan sudah dicanangkan Program Menuju Pertanian Organik 2010. Sesuai dengan fungsinya sebagai fasilitator pembangunan, maka langkah-langkah yang dilakukan untuk menuju pertanian organik 2010 adalah, antara lain:
1. Memasyarakatkan pertanian organik kepada konsumen, petani, pelaku pasar, serta masyarakat luas;
2. Memfasilitasi percepatan penguasaan, penerapan, pengembangan, dan penyebarluasan teknologi pertanian organik;
3. Memfasilitasi kerjasama terpadu antar masyarakat agribisnis untuk mengembangkan sentra-sentra pertumbuhan pertanian organik;
4. Memberdayakan potensi dan kekuatan masyarakat untuk mengembangkan infrastruktur pendukung pertanian organik;
5. Merumuskan kebijakan, norma, standar teknis, sistem dan prosedur yang kondusif untuk pengembangan pertanian organik.
Tanggapan masyarakat terhadap pertanian organik terus menguat. Saat ini telah berdiri beberapa lembaga atau perkumpulan yang mengembangkan pertanian organik. Antara lain Masyarakat Pertanian Organik Indonesia (Maporina) yang berpusat di Universitas Brawijaya, Malang; Organik Nature Farming Training Centre (Pusat Pelatihan Pertanian Terpadu dan Akrab Lingkungan – PPPTAL); dan Institut Pengembangan Sumberdaya Alam (IPSA). Beragam hasil kajian dan percobaan pertanian organik telah banyak yang diaplikasikan petani. Misalnya untuk menghasilkan beras organik, petani memilih varietas lokal seperti Sri Kuning, Sri Ayu, Galur, Lestari dan Mentik. (Atep Afia)
Sumber Gambar:
Sumber Gambar:
http://www.naturalkitchenstrategies.com.au/images/Fresh_Basil_from_Glo_Health_Organic_Groceries_Food_Shop.jpg